Dari teori menuju aksi.....dari aksi menuju kedamaian sejati...!!!

Selasa, 28 Juni 2011

Film dan Kita


Media View | Tue, Feb 22, 2011 at 10:30 | Jakarta, Koran Jakarta

Menonton film di bioskop, terasa kenikmatan tersendiri. Apalagi saat ini sejumlah bioskop lebih akrab dan ramah terhadap penonton, kita boleh makan sambil menonton, atau menonton secara terbatas dengan kolega atau keluarga sambil menikmati hidangan. Tapi, film yang ditayangkan umumnya produksi Hollywood.

Gambar berbicara atau film yang makin canggih dalam pembuatannya telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari budaya masyarakat perkotaan, bahkan dengan bantuan rekaman melalui keping-keping DVD, film pun menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di perdesaan. Negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat (AS) menyadari betul pentingnya film.

Bukan hanya tambang ekonomi bagi kalangan produser dan para bintangnya serta pemilik jaringan bioskop saja, tetapi yang terpenting adalah sebagai alat budaya yang paling ampuh untuk memengaruhi pola pikir dan tindakan manusia. Indonesia menjadi sasaran penyebaran budaya dan pola pikir bangsa AS, selain sejumlah negara lain. Pelan tapi pasti, “cuci otak” berlangsung melalui saluran film ini. Sayangnya, pegiat film Indonesia, apakah produser, sutradara, maupun para bintangnya, belum mampu mengimbangi derasnya kedatangan film-film Holywood. Sejarah panjang produksi film nasional yang sudah dimulai sejak tahun 1926 melalui film Loe-toeng Kasaroeng.

Setelah itu diikuti dengan produksi berbagai film yang lebih bermutu. Namun, hingga saat ini, film Indonesia seakan berjalan di tempat. Kendala modal, teknologi, SDM, dan sikap penonton sendiri ikut menyumbang buramnya perfilman nasional. Dalam kaitan produksi, kita mendengar pajak film nasional justru 10 kali lipat lebih besar daripada film Hollywood. Inilah yang kemudian menimbulkan semacam gugatan kepada pemerintah, mengapa tidak ada perlindungan terhadap film nasional. Mempersoalkan pajak film inilah, kemudian muncul berita seputar ancaman akan berakhirnya pemutaran film film Hollywood dan juga film dari beberapa negara lain seperti Mandarin dan India.

Ancaman tidak akan diimpornya film-film produksi perusahana besar itu datang dari Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (Ikapifi ) dan Motion Picture Association of America (MPAA). Alasannya, sebagai protes atas kebijakan Direktorat Jenderal Bea Cukai yang menerapkan bea masuk atas hak distribusi film impor. Dari kebijakan baru Ditjen Bea Cukai dan disusul ancaman menghentikan film-film impor, terutama dari Hollywood, pro-kontra di masyarakat makin marak, terutama melalui jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Kita tidak ingin memperpanjang perdebatan. Biarlah hal itu menjadi domain masyarakat pencinta film.

Kita justru ingin mengingatkan insan film, pemerintah, dan juga importir yang selama ini menikmati keuntungan dari peredaran film-filmnya. Kesadaran pemerintah, dalam hal ini Ditjen Bea Cukai, bahwa pajak terhadap film impor sangat kecil dibandingkan dengan pajak film impor dan itu sudah berlangsung puluhan tahun, memang harus dilakukan. Keputusan menaikkan pajak impor film, jika saja tidak dilakukan tiba-tiba dan sebelumnya mengajak pihak terkait membahas soal ini, ceritanya akan lain.

Kita juga mempertanyakan reaksi berlebihan, bahkan sampai mengancam, dari kalangan importir karena kita memperkirakan hal itu tidak akan dijalankan seara permanen. Mungkin saja importir menahan dalam beberapa waktu dan kemudian memasukkan lagi film-film yang memang oleh masyarakat lebih dinilai berkualitas ketimbang film nasional yang kebanyakan mengumbar birahi, horor, dan cerita opera sabun. Kepentingan besar Pemerintah AS dan juga negara lain atas intervensi budaya secara tidak langsung melalui layar bioskop ini kita perkirakan akan terjadi titik temu antara importir dan pemerintah.

Apalagi pihak Kementerian Budaya dan Pariwisata sudah memberi sinyal bahwa masalah ini tidak akan berlarut-larut. Dengan heboh ancaman menghentikan film Hollywood, kita ingin menyarankan agar momentum ini dimanfaatkan kalangan sineas dan insan film di Tanah Air untuk memproduksi film-film bermutu. Begitu juga dengan pemerintah, saat ini harus mulai menganggap bahwa film itu sangat penting sebagai wadah untuk pendidikan, pemahaman akan keindonesiaan, dan juga sarana memperkenalkan budaya Indonesia lebih dalam.

Nah, sudahkah kita memanfaatkan film tersebut menjadi tidak sekadar mencari sensasi dan keuntungan belaka? Beberapa film sudah membuktikan tanpa seks, horor, dan hedonisme, film bermutu dan menghibur mendapat tempat di masyarakat. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar