Dari teori menuju aksi.....dari aksi menuju kedamaian sejati...!!!

Rabu, 29 Juni 2011

Beragamnya kebenaran dalam fiqh islam


Diantara faktor yang mendukung lahirnya sikap toleran dalam masalah khilafiah dan menghormati pendapat orang lain ialah meyakini kemngkinan beragamnya kebenaran. Disini kemudian muncul pertanyaan, apakah mungkin adanya kebenaran dalam satu masalah ? ataukah kebenaran itu selamanya hanya satu ?

Jawabannya, sesungguhnya siantara para ahli ushul ada yang bependapat bahwa dalam satu masalah hukum furu’ , kebenaran itu bisa lebih dari satu. Setiap hukum yang disimpulkan oleh seseorang mujtahid adalah benar sekalipun kesimpulan hhukumnya atau hasil ijtihadnya saling berlawanan. Misalnya, yang satu mengharamkan, sedangkan yang lain menghalalkan atau yang satu mengatakan wajib tetapi yang lainnya tidak.
Meraka inilah yang dikenal dengan sebutan al-mushawwibah, mereka beragumentasi dengan dalil dan pertimbangan sebagaimana orang-orang yang tidak sepakat dengan mereka juga bergumentasi dengan dalil dan pertimbangan.
Jumhur ulama bahkan berpendapat bahwa tidak semua ijtihad itu benar secara mutlak. Adakalanya seorang mujtahid itu benar atau salah, juga tidak tertutup kemungkinan adanya banyak kebenaran dalam hal-hal tertentu.
Ada beberapa hal yang oleh Pembuat Syari’at (Allah) dikehendaki memiliki beberapa aspek yang beragam dimana kebenaran tidak hanya ada di satu aspek. Contoh yang paling jelas ialah beragamnya segi qira’at al-quran yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi SAW melalui beberapa sanad yang mencapai derajat mutawatir. Perbedaan qira’at ini dapat kita lihat pengaruhnya pada qira’at sab’ah yang sudah sangat terkenal dan didengarkan oleh kaum muslimin disetiap tempat dan zaman. Walaupun demikian perbedaan ini tidak menimbulkan kekacauan dalam agama mereka. Di antara pengaruhnya ialah dicetaknya mushaf dalam berbagai macam qira’at, seperti mushaf kam muslimin di timur dicetak bedasarkan riwayat hafsh bin ‘ashim, sedangkan mushaf kaum muslimin di maghribi (maroko, tunisia, libia, dan sekitarnya) dicetak berdasarkan riwayat warsy dari nafi’.
Selain itu, ada pula beberapa masalah yang memungkinkan adanya banyak kebenaran, tetapi dengan beberapa persyaratan tertentu.
Misalnya ijtihad seorang mujtahid di suatu masa benar tetapi pada masa yang lain ijtihad mujtahid lain dinilai benar.
Ijtihad seorang mujtahid tentang suatu masalah dinilai benar apabila dikaitkan dengan tempat dan lingkungan tertentu, tetapi mungkin saja tidak demikian dengan tempat dan lingkungan yang lain. Hal ini karena darul islam berbeda dengan darul kufri, darus sunnah tidak sama dengan darul bid’ah, desa tidak sama dengan kota.
Bisa juga ijtihad seorang mujtahid dianggap benar pada keadaan tertentu dan ijtihad mujtahid yang lain dianggap benar pada keadaan yang lain. Hal ini karena keadaan lemah tidak sama dengan keadaan kuat, keadaan tertindas tidak sama dengan keadaan ketika berkuasa, keadaan lapang tidak sama dengan keadaan sempit, keadaan orang yang baru masuk islam tidak sama dengan orang yang sejk kecil tumbuh dipangkuan islam.
Inilah yang dimaksudkan oleh para ulama dengan perubahan fatwa karena berubahnya zaman, tempat, keadaan, kebiasaan dan faktor-faktor perubah lainnya.
Tentang ini, kita lihat para sahabat menetapkan sejumlah hukum yang tidak pernah dinyatakan di zaman Nabi SAW karena tuntutan perubahan zaman. Peniolakan umar terhadap pembagian kekayaan negeri Irak kepada mujahidin yang perang, berbeda dengan apa yang pernah dilakukan Nabi SAW di khaibar.
Penyeragaman penulisan mushaf dan pembakaran mushaf-mushaf selainnya karena khawatir terjadinya perpecahan dilakukan pada zaman utsman.
Ali r.a menetapkan kebijaksanaan yang mewajibkan pengerajin untuk membayar ganti rugi apabila barang pesanan yang ada ditangannya rusak. Kebijaksanaan ini berbeda dengan ketetapan yang ada sebelumnya karena perubahan zaman. Ali r.a berkata “tidak cocok untuk orang-orang sekarang (dimasa Ali) kecuali itu”.
Kita lihat juga para ulama berlainan pendapat dengan para imamnya karena berbeda zaman. Ini dapat kita baca dengan jelas dalam sejarah fiqh, seperti halnya perbedaan antara abu hanifah dengan kedua muridnya abu yusuf dan muhammad. Perbedaan mereka dinilai sebagai perbedaan zaman bukan perbedaan hujjah dan dalil.
Inilah yang membuat seorang imam seperti ibnu abi zaid al-qairawani, penyusun buku ar-risalah yang terkenal dalam mazhab maliki, berani memelihara seekor anjing untuk keperluan penjagaan. Akan tetapi, ketika ditanya dan dikecam oleh orang-orang karena menyalahi pendapat imam mazhab, ia menjawab “seandainya Malik hidup dizaman kami, pasti ia akan memelihara singa yang buas”.
Demikian pula kebenaran itu bisa beragam karena pertimbangan perubahan tempat dan pengaruhnya dalam membentuk pandangan dan menentukan hukum. Faktor inilah yang membuat para fuqaha’ menetapkan beberapa hukum yang menyangkut darul harbi atau Darul ‘ahdi. Abu hanifah membolehkn muamalah dengan aqad yang batil diantaranya riba diluar Darul Islam, asalkan sama-sama ridha dan tidak ada pengkhianatan dan penipuan.
Mengenai beragamnya kebenaran dan perubahan hukum karena perubahan keadaan baik pribadi maupun jama’ah, kita dapati banyak contoh dan beragam hukum.
Rasulullah SAW memberikan jawaban yang berbeda-beda terhadap satu pertanyaan karena mempertimbangkan keadaan orang-orang yang bertanya. Seperti sikap Nabi SAW kepada seorang badui yang kencing di masjid dengan disaksikan orang banyak. Beliau tidak mengecam perbuatan itu sebagaimana para sahabat karena menyadari bahwa orang tersebut belum memahami adab islam.
Karena itu, fatwa-fatwa Nabi SAW tentang kasus-kasus pribadi tidak dapat dijadikan sebagai hukum umum karen dibolehkannya mempertimbangkan faktor pribadi dalam menentukan suatu hukum. Dari sinilah kemudian para fuqaha dan ahli ushul mengatakan,”kasus-kasus pribadi atau kondisional tidak memiliki nilai keumuman”.
Umar bin abdul Aziz berkata,”manusia akan menghadapi masalah-masalah baru sesuai dengan kemajuan kemaksiatan mereka.”
Ia menolak prinsip hadiah kepada dirinya dan para gubernurnya. Ketika diingatkan kepadanya bahwa Nabi SAW mau menerima hadiah, ia menjawab,,”pemberian itu bagi Nabi SAW bernilai sebagai hadiah (murni) tetapi bagi kami bernilai sogokan.”
Di antara contoh yang paling jelas dalam masalah ini ialah apa yang diceritakan oleh imam ibnul qayyim tentang gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Suatu saat, beliau melewati orang-orang Tartar di Damaskus sedang mabuk karena khamr. Orang-orang mengecam dengan keras tindakan itu, akan tetapi Ibnu Taimiyah dengan ilmu yang dalam dan wawasan fiqhnya yang luas serta didasrkan kepada pertimbangan antara kemaslahatan dan kemudharatan justru berkata kepada mereka,”biarkanlah mereka hanyut dalam minuman dan mabuk mereka. Allah mengharamkan khamr karena ia menghalangi dari mengingat Allah dan shalat, sedangkan khamr yang mereka tenggak dapat menghalangi mereka dari menumpahkan darah da merampas harta.”
Inilah fiqh sejati yang tidak membuat hukum beku dalam satu keadaan, tetapi menganalisis sebab dan sasaran dalam menetapkan suatu hukum.
Hal ini tidak hanya berlaku dalam masalah-masalah fiqh tetapi juga harus diterapkan dalam masalah-masalah politik dan sosial.
Di negara-negara demokrasi mungkin dipandang baik untuk iktu serta dalam pemilihan umum dan memasuki parlemen, dalam upaya memengaruhi dan mengkondisikan lembaga kekuasaan yang mempunyai wewenang membuat undang-undang. Minimal memperdengarkan suara islam dan menegakkan hujjah pada mereka. Akan tetapi, di negara lain mungkin hal tersebut hanyalah sia-sia belaka, bahkan bisa jadi merupakan partisipasi dalam penyesatan umat.

( Dikutip dari buku Fiqh perbedaan pendapat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar