Dari teori menuju aksi.....dari aksi menuju kedamaian sejati...!!!

Senin, 27 Juni 2011

Membebaskan Islam dari Bin-Ladinisme*


Oleh Novriantoni Kahar*

*Dimuat Koran Tempo, 10 Mei 2011

Tewasnya Usamah bin Ladin pada Ahad, 1 Mei 2011, merupakan pukulan moral yang telak bagi gerakan-gerakan teror yang mengatasnamakan jihad. Ironis, tokoh utama Al-Qaidah itu ditembak mati bukan di medan jihad dan mayatnya pun di buang ke laut—sesuatu yang agak gila dalam pendekatan Obama dalam melawan teror. Namun tak banyak yang percaya bahwa aksi-aksi terorisme bakal hilang dan segera lenyap. Sebab, ideologi “jihadisme” itu sendiri sudah menjadi semacam waralaba yang mendunia. Para pengamat percaya bahwa Bin Ladin boleh pergi, tapi “Bin-Ladinisme” akan tetap bercokol di muka bumi.


Namun, terlepas dari wafatnya Bin Ladin, yang paling penting bagi kita saat ini adalah bagaimana menahan laju perkembangan Bin-Ladinisme. Sebab, Bin Ladin boleh pergi, tapi ideologi Bin Ladin atau Bin-Ladinisme itu sendiri sudah seperti virus yang dapat menjangkiti berbagai segmen masyarakat Islam. Pendekatan keamanan saja—meski itu juga tidak mudah—tentu tidak memadai dalam rangka memerangi virus ini. Scanning dan removing virus Bin Ladinisme itu merupakan tantangan dan tugas yang amat berat. Terlebih beberapa aspek dari doktrin Bin-Ladinisme juga dikongsi bersama di dalam pikiran banyak generasi muslim saat ini.

Itulah yang setidaknya dapat saya baca dari buku pemikir Suriah, Muhammad Syahrur. Dalam Tajfif Manabi’ al-Irhab (Mengeringkan Sumber-sumber Doktrinal Terorisme), ia melakukan telaah mendalam dan dekonstruksi terhadap doktrin-doktrin Islam yang mudah digunakan sebagai dalih dalam melakukan aksi-aksi terorisme. Yang mengejutkan, Syahrur menunjukkan bahwa doktrin-doktrin yang dianut kalangan teroris itu sebetulnya dekat belaka dengan kesadaran umum yang dimiliki muslim kebanyakan. Misalnya doktrin amar makruf nahi munkar, sikap non-kompromis terhadap kebebasan beragama (mas’alatu al-riddah), doktrin jihad, serta al-wala’ wa al-bara’.

Doktrin amar makruf dalam pemahaman kalangan jihadis, misalnya, sama belaka dengan yang dipahami mainstream muslim. Hadisnya bermula dari anjuran untuk maksimal dalam menolak kemungkaran: yang paling mulia adalah dengan tindakan. Mobilisasi massa anti-kemungkaran bisa dilakukan secara emosional melalui ancaman: jika tidak ikut menumpas kemungkaran, maka azab akan menimpa semua. Karena itu, sering kali tak banyak penolakan dari mainstream muslim terhadap aksi main hakim sendiri oleh berbagai ormas Islam yang mengklaim sedang amar makruf. “Untung mereka melakukan itu. Kalau tidak, kami ikut berdosa,” demikianlah ungkapan batin banyak mainstream muslim.

Yang problematik, definisi kemungkaran bisa memuai dan mengerut sesuai dengan tingkat keahlian tiap ideolog dalam memaknainya. Tentu ia juga ditentukan oleh faktor lain, seperti lemahnya penegakan hukum. Namun, yang tidak bisa dinafikan, doktrin ini tetap merupakan bahan bakar dan preambul bagi partisipasi yang luas untuk melakukan tindakan-tindakan radikal—kalau bukan teror—di berbagai belahan dunia muslim. Padahal, bagi Syahrur, asal mula kehidupan bersama dalam Islam adalah upaya untuk saling lapang dada (al-ashl fi al-hayat al-samah). Namun penganut Bin-Ladinisme berupaya menjadikan kehidupan bersama lebih mencekik dan berlimpah larangan.

Di banyak dunia muslim, doktrin ini juga paling banyak digunakan sebagai dalih untuk meneror kebebasan masyarakat dan dilakukan secara intimidatif dan paksa. Namun beda antara penganut Bin-Ladinisme dan bukan dalam soal ini juga cukup jelas. Bagi muslim mainstream, setelah menunaikan amar makruf dengan berbagai cara, mereka akan mengurus diri masing-masing agar tak terjebak dalam maksiat yang mereka keluhkan. Kaum sufi bahkan lebih mengutamakan tazkiyatun nafsi (penyucian diri pribadi) dibanding mengurusi kemaksiatan orang lain. Tapi, bagi penganut Bin-Ladinisme, intimidasi, agresi, bahkan persekusi merupakan sesuatu yang lumrah dan halal untuk mereka lakukan.

Doktrin kedua yang juga sangat penting dalam Bin Ladinisme adalah soal al-wala’ wa al-bara’. Ini doktrin tentang tak boleh terbelahnya loyalitas seorang muslim. Yang pertama dan utama dalam pikiran dan sanubari muslim adalah Islam, terutama Islam Bin-Ladinisme. Loyalitas (al-wala’) terhadap Islam tak boleh terbelah. Dengan loyalitas itu, seorang muslim harus membebaskan diri dari favoritisme lainnya (bara’). Seorang muslim hanya boleh mengidolakan Allah dan rasulnya, tak boleh ikut-ikutan mengidolakan Justin Bieber, David Beckham, dan Lady Gaga. Ingatkah Anda salah satu alasan teroris mengebom Hotel JW Marriott beberapa tahun lalu? Ya, salah satunya adalah agar muslim Indonesia tidak membagi wala’-nya kepada Manchester United, yang sedianya akan menginap di hotel itu. Mereka harus bara’ (disloyal) kepada segala sesuatu selain Allah.

Muslim Pakistan yang mendapat kewarganegaraan Inggris—misalnya—bisa dibuat bingung oleh doktrin ini. Mestinya mereka bisa menjadi warga negara Inggris yang baik, menghormati konstitusi dan hukum di negeri tempat mereka berpijak, sekaligus menjadi muslim yang taat. Namun doktrin ini menawarkan simalakama: memilah menjadi muslim sedunia atau masuk ke golongan warga negara kafir. Sungguh menyulitkan! Besar kemungkinan, doktrin seperti ini pulalah yang membuat beberapa anak muda Indonesia gampang dicuci otaknya, lalu emoh hormat Merah Putih, karena di dada mereka hanya dikibarkan panji-panji keislaman.

Doktrin yang paling mematikan dan sudah tak asing lagi tentulah soal jihad. Terlepas dari kontroversi soal absah-tidaknya aksi-aksi mereka disebut jihad, doktrin ini nyata telah memukau banyak sekali umat-umat yang tidak waspada. Namun yang terpenting di sini adalah upaya mengenal pembagian jihad menjadi nikayah dan tamkin. Jihad nikayah adalah praktek jihad yang tujuannya semata-mata membunuh dan melukai musuh. Ini seperti taktik hit and run dalam strategi militer. Maksudnya hanya untuk menakut-nakuti mereka yang dianggap musuh tanpa ada tujuan untuk menduduki (tamkin) sasaran jihad. Inilah yang dilakukan kalangan teroris yang selama ini terinspirasi oleh Bin Ladin dan Al-Qaidah.

Meski mendapat banyak kritik dan dianggap tak efektif, nikayah tetap dianggap penting untuk mengobarkan semangat jihad, menghilangkan rasa gentar, dan melatih kesabaran atas kepergian orang-orang yang dicintai. Bagi Bin-Ladinisme, ini semata-mata bertujuan tarbiyah atau penggemblengan mental. Namun bukan berarti tujuan nikayah harus lebih diutamakan daripada tamkin. Yang tetap utama dan menjadi tujuan ideologis Bin-Ladinisme tetaplah tamkin (perebutan dan pemantapan kekuasaan). Jihad ini berjangka panjang serta bisa fisik dan non-fisik. Yang diperlukan adalah kemampuan menegakkan “syiar-syiar Islam” dengan cara-cara damai dan mengukuhkannya tanpa ada lagi yang mampu menghalangi.

Dalam suatu situs jihadis disebutkan, maksud dari jihad ini adalah “menguasai suatu wilayah yang telah direbut dan memberlakukan syariat Islam secara kaffah”. Ini mirip belaka dengan konsep qaidah aminah (daerah basis/safe heaven) yang hendak ditegakkan kalangan jihadis di Poso beberapa tahun lalu. Bagi mereka, inilah wujud janji Allah dalam surat An-Nur ayat 55: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh di antara kalian untuk benar-benar menjadikan mereka khalifah dan memapankan mereka sebagai penguasa di muka bumi (wa layumakkinannahum fil ‘ard), sebagaimana telah Dia jadikan berkuasa orang-orang sebelum mereka…”.

Membaca penjelasan Syahrur, saya berkesimpulan bahwa jalan Islam menjadi agama yang cinta damai masih panjang. Virus-virus Bin Ladinisme bisa menjangkiti siapa saja bila tidak ada kesungguhan dalam membendungnya. “Islam secara literer pada dasarnya adalah upaya berperang melawan teror. Muslim sejati adalah mereka yang membuat orang lain merasa aman dari tindakan maupun ucapannya,” kata Syahrur. Namun masihkah ungkapan itu bermakna?



*Aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Sedang Tinggal Di Exeter, Inggris

Tidak ada komentar:

Posting Komentar