Dari teori menuju aksi.....dari aksi menuju kedamaian sejati...!!!

Rabu, 29 Juni 2011

Mendamba Islam sebagai Gerakan Sosial Baru *)


Eko Prasetyo **)

Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba selimut
(Muhammad SAW)

Kutundukkan kepalaku
Kepada semua kalian para korban
Sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk
Kepada penindas Tak pemah aku membungkuk Aku selalu tegak
(Wi]i Thukul, ‘Tujuan Kita Satu Ibu’)

Kesabaran tidak selalu bisa dianggap kebajikan. jika memberi hati kepada merajalelanya
kelaliman. Tak akan ada penguasa yang bisa bertindak sewenang-wenang, jika tidak ada
yang mau jadi budak
(Jose Rizal)

Namanya Henrik (Johan) Ibsen. Penyair dan seorang dramawan yang karyanya
amat menakjubkan. Diantaranya. rumah boneka, yang berkisah tentang kehidupan suami
istri yang menyimpan kegalauan.

Nora, istri yang riang dan suka belanja, ternyata menyimpan rahasia kesetiaan dan
pengorbanan yang besar. Helmer, suami baik yang selalu menumpahi Nora dengan uang,
memiliki jiwa seperti penguasa. Helmer amat sulit menerima kesalahan sekecil apa pun. la
persis seperti seorang yang tidak mau menerima kejanggalan. Kemarahanya meledak
karena Nora ternyata berutang dengan seorang pria yang bertingkah licik. Nora dikutuk, dicerca dan dihina dengan rendah oleh Helmer. Walau perbuatan itu berbuah
permohonan maaf, tapi Nora telanjur kecewa. Helmer membuatnya ingat akan sosok ayah yang selalu menganggap Nora seorang yang kecil dan harus dituntun. Nora memutuskan
untuk meninggalkan Helmer karena sikapnya yang menganggap Nora persis seperti boneka.

Henrik Ibsen memang sosok yang piawai dalam melukiskan ketegangan hubungan
yang ada dalam lingkungan keluarga mapan. Ketegangan yang terbentuk seiring dengan
perubahan sosial yang timbul dan terbentuk di Iingkungan masyarakat.
Kisah dalam Rumah Boneka ini membuat saya lebih mengenal agama. Saya tidak
tahu persis apa selama ini saya seperti Nora, yang selalu mendapat tuntunan dan tuntutan
baku dalam beragama. Mengerjakan ibadah kemudian diganjar dengan pahala seperti
Helmer yang selalu saja memberi Nora dengan uang dan rasa sayang yang bertubi-tubi.
Masjid tempat saya beribadah itu mirip dengan rumah boneka yang dihuni oleh Nora dan
Helmer. Sunyi dan aktivitas sosial karena hanya dijejali oleh kegiatan ibadah melulu. Saya
yakin dulu masjid didirikan bukan untuk memberi ruang bagi kegiatan shalat dan untuk
muadzin yang melantunkan adzan! Masjid dibangun karena memang punya maksud yang
jauh lebih sosial. Saya takut masjid jadi rumah boneka karena tidak memperkenankan
tindakan apapun yang berkonotasi kealpaan. Tiang kayu penyangga yang indah kerapkali
ditempel kalimat “Jangan Tidur di dalam!” Malahan ada yang dalam jam tertentu tidak
setiap orang diperkenankan masuk ke dalam masjid. Ruang masjid selalu sunyi dari poster
dan lukisan. Entah darimana ada keyakinan kalau masjid harus bersih dan sunyi dari
sentuhan estetika!

Saya jadi ingat kisah yang ditulis Maurguerite Yourcernar, yang bercerita tentang
Wang Fo yang dijatuhi hukuman oleh raja Han. Kesalahan Wang Fo begitu menyakitkan,
yakni memperkenalkan dunia lukisan pada sang raja semasa kecil. Dalam tutur kalimat
sang raja, karena lukisanmu, laut kusangka mirip genangan air yang luas membentang, sedemikian
birunya hingga baiu yang ferjatuh ke dalamnya pasti berubah jadi nilam. Wanita kusangka membuka
dan menutup diri seperti bunga. minp makhluk-makhluk yang bergerak, terdorong oleh hembusan angin
dalam taman-taman lukisanmu. Tapi ketika sang raja mulai bertambah usia dan menjenguk
pemandangan melalui serambi istana, kenyataan yang ada di hadapannya begitu berbeda
dengan lukisan. Raja bilang, tubuh perempuan hidup membuatku jijik. Mereka tak ubahnya seperti
daging yang bergelantungan di ujung kait tukang jagal. Dunia, bagi sang raja, hanyalah seonggok noda
yang memusingkan kepala. Dilemparkan ke atas kekosongan oleh seorang pelukis gila, dunia yang
tanpa henti terhapus oleh butiran mata manusia. Saya sering mendengar ucapan raja Han yang

serupa seperti dalam mimbar Jumat. Seorang Khotib yang sering melontarkan ancaman,
hasutan dan sikap jijik pada dunia seisinya, Dengan gampang semua keindahan yang
diberikan oleh Tuhan dikutuk sedemikian rupa. Dari lukisan, puisi hingga karya sinema
tak lepas dari hujatan.
Karena itu saya selalu kehilangan pesona dengan masjid yang dibangun saat
ideologi pembangunan bertahta. Masjid yang mengandalkan keluasan dan hiasan ornamen
ukir yang tak ubahnya rumah megah, tapi miskin sentuhan keindahan. Seolah-olah
arsitektur yang dingin dengan standar fungsional yang baku. Masjid itu melenyapkan
sesuatu yang estetik, yakni pesona dan kedalaman Iman. Padahal seni interior dalam
bangunan tempat ibadah dipayungi oleh prinsip-prinsip Tauhid. Prinsip yang menurut
Ismail al-Faruqi harus memenuhi beberapa kriteria, kesatuan, rasionalisme dan toleransi.
Dengan kesatuan, Tuhan beserta kekuasaan yang meliputi-Nya menjadi pusat orientasi
semua karya. Kemudian, melalui rasionalisme, Islam sangat menolak semua karya yang
tidak berkaitan dengan realitas. Bahkan rasionalismelah yang membuat Islam sangat
terbuka dengan hal-hal yang baru. Kemudian toleransi yang membuat Islam menerima
semua yang tampak sampai kepalsuannya terungkap. Ketiga prinsip ini yang secara
beruntun telah menuntun Islam dalam pencapaian kebudayaan yang tinggi. Pendekatan
dalam pembangunan masjid belakangan ini mengabaikan itu sernua, seolah sebagai
arsitektur yang permanen dan menjadi fiksi, sehingga seperti dunia dongeng bagi dunia
anak dan orangtua.
Muhammad Iqbal adalah di antara ilmuwan Islam yang memiliki perhatian pada
dunia kebudayaan. Melaluinya terpahat berbagai karya yang sangat mengagungkan adanya
prinsip amal dalam Islam. Berbuat, bekerja dan bergerak merupakan intisari dari semua
ajaran Islam. Dalam tuturan Ismail al-Faruqi, tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah
menciptakan umat manusia agar manusia dapat membuktikan diri bernilai secara moral
melalui perbuatannya. Bernlai dalam perbuatan bukan saja terletak pada sikap tunduk dan
patuh, tetapi juga menghasilkan karya yang estetik. Karya yang tidak mengenal
keterbatasan maupun ketak-terhinggaan. Karya yang menunjukkan kembali kemuliaan
Tuhan dan betapa manusia, sebagai makhluknya, berkedudukan sebagai umat terpilih.
Karakteristik tradisi Seni Islam inilah, yang menurut A.H Johns, telah membawa
ketegangan di Indonesia, terutama antara kalangan Istana dan pusat-pusat penyebaran
Islam. Sebab tradisi histografi Melayu yang cenderung mistis berhadapan dengan tradisi

histografi Islam yang pada dasamya realis. Kebudayaan Islam telah mendorong proses
integrasi kultural ke dalam masyarakat.
Iqbal meyakini bahwa seorang yang beriman tentunya adalah seorang seniman.
Iqbal menyiratkan gagasan tentang seorang beriman dalam suratnya kepada Professor
Nicholson: Makin jauh jaraknya dari Tuhan, semakin kecillah individualitasnya. Orang yang paling
dekat dengan kepada Tuhan, itulah yang paling sempuma. Tapi bukan yang akhirnya hanyut terserap
ke dalam Tuhan. Sebaliknya, ia harus menyerapkan Tuhan ke dalam dirinya. Pribadi sejati bukan
saja menyerapkan dunia materi: dengan menguasainya ia menyerapkan Tuhan ke dalam egonya. Ideal
kepribadian orang beriman, menurut Iqbal, adalah mereka yang dipupuk dan diperkuat
oleh kekuatan kerja yang orisinil dan kreatif. Bagi Iqbal, agama seperti yang diutarakan
oleh Professor Whitehead, adalah suatu sistem kebenaran umum yang membawa akibat
merubah watak manusia bila benar-benar dipegang dan dipahami sepenuhnya. Agama
akan dikenal melalui perbuatan dan karya sebagaimana yang secara tepat diutarakan oleh
Iqbal: dari buahnya kau mengenal mereka dan bukan dari akarnya!
Buah itulah yang belakangan ini menjadi kegelisahan dalam pikiran saya. Di negara
yang penduduknya mayoritas beragama Islam, buah itu rasanya masam. Umat Islam
diombang-ambing oleh kondisi sosial yang makin menelantarkan posisinya. Di sana-sini
mengalami musibah yang terus beruntun. Dalam bidang ekonomi, prestasi sebagai negara
pencetak pengangguran telah menimbun negara ini dalam kedudukan yang memalukan.
Reputasi sebagai bangsa yang gemar melakukan korupsi juga membuat negeri ini terus
menjadi sasaran penelitian. Yang merisaukan juga, dunia pendidikan disunat dan dikorupsi
dananya. Anggaran yang mustinya mencapai 20 % hanya dicicil sepanjang lima tahun!
Kerisauan ini makin mengkristal karena serbuan kapitalisme modal yang menyapu habis
potensi kreatif umat. Gerak kebudayaan Islam—seperti orang yang berbadan tambun:—
lamban dan tidak menarik. Karya kebudayaan Islam makin bertaut dengan pertumbuhan
dan ledakan pasar
Pasar sebagai regulator utama kini dibebaskan dari semua elemen pembatasan.
Seperti seorang kapitalis yang meiakukan ekspansi bukan karena dirangsang oleh
munculnya kebutuhan, melainkan keharusan untuk melakukan. Seperti yang dikatakan oleh
Carnegei, penangguhan ekspansi lebih lanjut berarti kemunduran. Ini dituang dalam
akhlak Scarlet O'hara yang dikisahkan dalam novel Gone With The Wind karya Margaret
Mitchell. Scarlet yang lincah, pemberani, dan mungkin agak sembrono, menyiratkan suatu

semangat pasar yang tidak mau dipadamkan. Cinta dan kesetiaan dikalahkan oleh
kehendak untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Karena itu jiwanya kering dari
siraman cinta, kesetiaan dan nilai persahabatan yang dalam. Persis seperti Omar dalam
novel karya Naguib Mahfouz, Pengemis, yang mengalami derita kesepian dan merasa
menjadi orang buangan. Omar berkata, kaum ilmuwan menjadi tangguh lewat perseteruannya
dengan kebenaran, tapi kekuatan kita berasal dan uang yang kehilangan legalitasnya dari hari ke hari.
Uang telah meringkus keimanan yang menyala-nyala menjadi rasa keimanan yang tawar
dan basi. Dengan uang, kebudayaan Islam terjatuh hanya menjadi komoditas yang
diperdagangkan dalam arena jual-beli. Dalam istilah Lukacs, timbul apa yang dinamai
dengan reifikasi, yakni proses materialisasi ide abstrak menjadi konkret, dan dalam
konteks ini, reifikasi manusia berarti pereduksian ide manusia menjadi sekedar sama
dengan benda-benda material (alat produksi) Di sini suatu hubungan kemudian akan
dianggap produktif sejauh memberikan nilai tambah. Dan nilai tambah dari suatu
produktivitas hanya dapat dilihat dari uang, sebagai ukuran yang sah. Dalam tatanan
semacam itulah kapitalisme kemudian menjadi sistem sosial yang dianut oleh semua
orang. Kaum yang menyatakan sebagai penganut realisme sosialis melontarkan kritik yang
tajam jika seni kemudian hanya menjadi 'hamba' dari uang dan indra. Lukacs, seorang
tokoh realisme sosialis, menegaskan kembali apa yang disebut oleh Ismail al Faruqi,
bahwa seni tidak hanya keterlibatan indra (sense) tetapi juga memerlukan keterlibatan akal
budi sebagaimana filsafat.
* * * *
Pemimpin negara memang tidak perlu menjadi pelayan rakyat miskin. Tugasnya
mirip dengan supir angkot yang didera untuk mengejar setoran Karena mengejar setoran
itu maka proyek bangun-membangun sama sekali tidak mempertimbangkan kebutuhan
apalagi keindahan.Tiap ada lahan kosong maka akan ditelan untuk bikin bangunan baru,
yang selalu seragam saja bentuknya! Arsitektur yang tidak lagi mempertimbangkan
kehidupan dan kebebasan gerak semua orang. Cobalah berputar di sejumlah kota besar di
Jawa, kita akan menyaksikan tontonan ketimpangan yang menyakitkan sekaligus
menggelikan. Tiap perempatan kini bukan saja ada rambu-rambu jalan tapi juga ruangan
untuk pamer aktivitas pengangguran dan kemiskinan. Sedang segelintir orang yang
memegang jabatan sibuk menggunakan kelimpahan hartanya untuk berpose dengan baju
hingga kendaraan pribadi. Rakyat kecil seperti mendapat kutukan untuk melihat
kemewahan dengan perut yang kosong.
Ada dorongan besar, bukan saja untuk peningkatan pendapatan tetapi juga untuk
terus-menerus menimbun. Erich Fromm menyebutnya dengan 'orientasi menimbun',
tempat masyarakat menjalankan hubungan atas dasar kepemilikan. Kepemilikan inilah
yang membungkus sistem ini untuk menjadi hierarkis, dimana yang memiliki modal lebih
akan mengusai mereka yang tidak mempunyai apa-apa. Otoritas yang kaya ini kemudian
akan mengalir dalam berbagai bentuk; bisa muncul dalam kekuasaan, media, pendidikan
bahkan alat keamanan. Satu-satunya kendali utama kekuasaan pemilik modal, bukan lagi
pada negara, melainkan pasar. Otoritas anonim yang dalam struktur ekonomi,
sebagaimana penjelasan dalam buku Islam Kiri sebelumnya, ada di tembaga-lembaga
keuangan internasional. Struktur ini memiiiki aturan serta daya tekan yang kerapkali jauh
lebih perkasa. Yang tampaknya akan menjadi bahan diskusi pada buku ini utamanya
adalah bagaimana implikasi psikologis akibat limbah perubahan yang drastis ini. Juga hal
yang akan ditanyakan lebih jauh, apa dampak struktural yang akan diterima oleh kalangan
masyarakat tertindas.
Sebutan 'tertindas' dikutip untuk meliputi kecenderungan akan bertambahnya
kelompok rnasyarakat yang kian lama kian dipinggirkan. Suatu jenis masyarakat yang
terus-menerus dibuat untuk tergantung terhadap sistem yang mengeksploitasinya. Tanpa
sadar dan bahkan didahului oleh keyakinan primordial, bahwa melalui sistem ini
kehidupanya akan terjamin. Dalam contoh sederhana adalah keyakinan bahwa sistem
politik yang akan menjamin hak-hak rakyat hanya ada pada sistem demokrasi. Jenis sistem
politik yang menyakinkan rakyat bahwa suara mayoritas merupakan suara terbaik. Sistem
yang memperkenalkan Pemilu tiap lima tahun sekali dengan meminta rakyat memilih
wakilnya di parlemen. Jika parlemen kemudian melakukan pengkhianatan, seperti tidak
melakukan keberpihakan, maka rakyat yang barusan memilih tidak bisa mencabut
mandatnya. Rakyat harus menunggu lima tahun lagi. Lalu lima tahun kemudian akan ada
pemimpin yang tiba-tiba populer karena paras mukanya gencar sekali ditayangkan oleh
televisi. Disebut pemimpin karena dikenal secara populer, istilah yang mendekatkan pada
dunia media ketimbang karena telah menjalin hubungan yang mengakar dengan rakyat.
Rakyat dikatakan tertindas karena berada dalam posisi yang teralienasi. Istilah ini merujuk
pada apa yang dinyatakan oleh Erich Fromm, bahwa alienasi adalah proses di mana

manusia tidak mengalami dirinya sebagai pengemban aktif kekuatan-kekuatan dan
kekayaan miliknya, tetapi sebagai 'benda' yang jatuh miskin, bergantung pada kekuatankek'uatan
di luar dirinya, dengan siapa ia telah memproyeksikan hakikat hidupnya sendiri.
Definisi ini juga disangkut-pautkan oleh Erich Fromm dalam bidang keagamaan.
Kepatuhan yang membabi buta, sebutlah Tuhan atau berhala, telah membuat semua orang
memproyeksikan seluruh cinta, kekuatan dan pikirannya pada orang lain dan
menempatkan pribadi yang dicintai dalam kedudukan sebagai makhluk yang ‘superior'. Ia
gagal sebagai manusia dalam penghayatan atas dirinya-sendiri, sekaligus pengemban
kekuatan-kekuatan manusiawi yang produktif. Sebuah keyakinan yang meminta agama
untuk menghadirkan pemeluknya bukan hanya dengan rasa amarah tetapi juga kesabaran
yang lapang. Persis seperti yang diungkapkan dalam beberapa syair karya Jalaluddin Rumi:
Kesabaran pohon diperlukan, agar dapat mengumpulkan getah akar untuk digunakan pada saat yang
tepat, yaitu ketika mentari membelai ranting-ranting.

Islam: Gerakan Sosial Baru?
Dalam konteks itulah gerakan sosial menjadi tuntutan bagi semua kekuatan Islam,
sebuah gerakan sosial yang akan memberikan bekal pemahaman baru terhadap realitas.
Dengan mengaitkan pada gerakan sosial, umat Islam belajar untuk menata hubungan tidak
melalui relasi patron melainkan hubungan organisasional. Dan dalam mencapai sejumlah
tujuan maka aksi-aksi politik yang rasionallah yang dikerjakan sehingga segala bentuk
strategi ditempuh. Dengan menempuh jalan gerakan sosial maka upaya mobilisasi tidak
lagi mengandalkan karisma melainkan dengan menjaring konstituen melalui antitesis atas
nilai-nilai yang ditentang. Karenanya, gerakan sosial Islam menemukan sumbernya pada
prinsip Tauhid. Tauhid yang maknanya adalah pengukuhan serta peniadaan hanya dapat
dijalani jika umat Islam memiliki kesadaran kritis dan budaya perlawanan. Seperti bagan di
bawah ini, Tauhid bisa dijalankan secara konsisten jika umat memiliki kesadaran dan
perlawanan atas realitas. Dua sikap yang terbentuk jika gerakan Islam menempuh jalan
sebagai bagian dari gerakan sosial baru.

Jean Cohen menyatakan bahwa suatu gerakan sosial baru diidentifikasi memiliki
karakteristik: (1) tidak berjuang demi kembalinya komunitas-komunitas utopia yang tak
terjangkau pada masa lalu; (2) aktor-aktornya berjuang untuk otonomi, pluralitas dan
keberbedaan, tanpa menolak prinsip-prinsip egalitarian formal dari demokrasi parlemen,
partisipasi politik dan representasi publik pada struktur yuridis; (3) para aktornya
melakukan upaya sadar untuk belajar dari pengalaman masa lalu, untuk merelatifkan nilainilai
mereka melalui penalaran; (4) para aktornya mempertimbangkan keberadaan formal
negara dan ekonomi pasar. Wilayah aksi, strategi dan cara mobilisasi gerakan sosial baru
tidak lagi terbatas teritorialnya tetapi melintasi tapal batas Negara. Sebagai contoh,
perjuangan untuk ekologi, penentangan atas perdagangan anak serta perempuan maupun
kebebasan bersuara, merupakan isu-isu yang melintasi tapal batas negara.
Implementasi dari prinsip gerakan sosial baru inilah yang membuat gerakan Islam
memerlukan strategi advokasi yang massif—suatu strategi yang disusun untuk
mendekatkan persoalan secara konkret, bukan abstrak. Advokasi bukan saja sebagai
mekanisme keberpihakan melainkan juga jalan untuk meraih dukungan dari mereka yang
mengalami ketertindasan struktur.Waktunya bagi an muda Islam untuk terjun dalam
pembelaan terhadap mereka yang digusur, mereka yang dianggap illegal atau mereka yang
hingga kini belum mendapat hak-hak berpolitik. Dengan menentuh gerakan advokasi
maka umat Islam akan mengalami sentuhan konflik struktural dan kesadaran relasi sosia!
yang timpang. Mobilisasi maupun aksi kolektif waktunya untuk mengangkat berbagai
kasus struktural yang kini banyak dihadapi komunitas-komunitas miskin. Sentuhan
advokasi akan merangkum konstituen tidak berdasar atas basis aliran melainkan
persoalan-persoalan struktural.
Untuk menempuh jalur advokasi diperlukan hadirnya intelektual organik. Sosok
cendekiawan yang tidak sekedar menulis melainkan juga melakukan peran
pengorganisasian. Mengutip Gramsci, bentuk keberadaan intelektual tidak bisa lagi
terdapat pada kefasihan berbicara. namun dalam partisipasi aktif dalam kehidupan praktis
(Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, 1999). Manifestasi intelektual organik ini
yang akan menempatkanya dalam ikatan politik serta emosional dengan massa. Di tengah
penindasan struktur semacam ini, apalagi dengan banyaknya cendekiawan yang
'melacurkan' diri dalam struktur kekuasaan dan modal, kehadiran intelektual organik
merupakan jawaban taktis. Keberadaan intelektual organik diharapkan membentuk
kesadaran kritis massa akan terbentuk; karenanya seorang intelektual organik mengambil
fungsi progresif, fungsi yang menumbuhkan kesadaran massa pada tatanan serta struktur
yang timpang. Lewat intelektual organic, kesadaran keagamaan akan didekatkan pada spirit
oposisi ketimbang menjadi elemen kekuasaan.
Tentu untuk membangkitkan kesadaran atas kebutuhan intelektual organik
dibutuhkan model pendidikan keagamaan yang partisipatif dan kritis. Konservatisme di
lingkungan pendidikan Islam harus ditumbangkan. Bersamaan dengan itu makin
diperkuatnya elemen kesadaran akan budaya perlawanan. Lembaga pendidikan Islam
'mutlak' mengembangkan tradisi kebudayaan, yang mampu, membuka selubung kesadaran
akan kekejaman kapitalisme global. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Lukacs, kapitalisme
telah mengubah kesadaran manusia menjadi kesadaran palsu (fetisis) yang menjauhkan
manusia dari eksistensinya yang bebas; sebaliknya, mendekatkan manusia pada karakter
materi yang hanya mempunyai nilai fungsional (lihat, Ibe Karyanto, Realisme Sosialis, George
Lukacs, 1997). Waktunya gerakan Islam merintis senjata kultural, seperti mulai
mengembangkan teater, sinema maupun penulisan sastra yang berpihak pada nilai-nilai
kemanusiaan. Media kebudayaan penting untuk dikuasai, karena melaluinya, pesan
maupun misi gerakan dapat terkomunikasikan. Sebagaimana kemajuan sinema Iran,
tampaknya gerakan Islam Indonesia perlu belajar banyak bagaimana menumbuh
kembangkan, kebudayaan sebagai medium perlawanan. Institusi pendidikan menjadi
tempat pertama dan utama melakukan itu semua.
Pada akhirnya gerakan Islam akan menjadi progresif Jika memiliki kemahiran
dalam ber'adaptasi dengan tantangan sekaligus mampu memperkuat tradisi independensi,
sebuah tradisi yang mahal dan kerapkali menjadi bagian dari kritik terhadap Ornop.
‘Ulümuddîn Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004
Copyleft Eko Prasetyo
Meskipun Hamas dipandang sebagai bagian dari gerakan teroris, sejauh ini memiliki tradisi
independensi dan layanan sosial yang dirasakan langsung oleh rakyat di jalur Gaza. Studi
mengenai kelompok yang dikategorikan sebagai 'teroris' perlu dirintis; bukan melihat pada
aksi kekerasan yang ditempuh, melainkan motivasi sekaligus praktek layanan sosial yang
mereka lakukan. Maka, waktunya bagi gerakan Islam bukan saling memusuhi, melainkan
mengikat solidaritas. Tak ada tapal batas antara kaum fundamentalis dan modernis, karena
keduanya memiliki tuntutan pokok yang serupa: terciptanya sistem sosial yang lebih adil—
suatu sistem yang saat ini sulit dicapai jika semua kelompok Islam berjalan sendiri apalagi
saling mengutuk. Penulis, merasa perlu kembali mengakhiri tulisan ini dengan seruan:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebagian yang lain!” (At-Taubah:71)
* * * *
*) Tulisan ini direncanakan sebagai pengantar buku ketiga dari trilogi Islam Kiri, yakni
Islam, Kapitalisme & Gerakan sosial. Tulisan ini pernah disampaikan pada seminar
nasional “Islam Progresif” yang diadakan oleh Labda Shalahuddin dan Jaringan
Intelektual Muda Muhammadiyah, 29 Mei 2004
**) Aktivis prodemokrasi dan hak asasi manusia; tinggal di Yogyakarta.
Mengaktualisasikan kemampuannya dalam membela nilai-nilai kemanusiaan melalui
beberapa NGO, antara lain Insist, dan Pusham UII. Selain itu, penulis juga bergiat
melakukan perlawanan terhadap kekuatan modal melalui jalur buku. Untuk
kepenulisan, penulis terbilang produktif, kendati aktivitasnya terbilang padat.
‘Ulümuddîn Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004
Copyleft Eko Prasetyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar