Dari teori menuju aksi.....dari aksi menuju kedamaian sejati...!!!

Jumat, 01 Juli 2011

Menelaah perbedaan pendapat para ulama


Diantara faktor yang akan membantu lahirnya sikap toleran dan tenggang rasa terhadap masalah khilafiah ialah menelaah perbedaan pendapat para ulama agar diketahui beragamnya madzhab dan bervariasinya sumber pengambilan.
Masing-masing madzhab mempunyai sudut pandang dan dalil-dalil yang menlandasinya. Akan tetapi, semuanya menimba dari lautan syaria’t yang amat luas.
Para ulama kita menegaskan wajibnya mengetahui perbedaan pendapat para fuqaha sebagaimana wajibnya mengetahui apa yang telah mereka sepakati. Hal ini karena perbedaan pendapat mereka merupakan rahmat dan kesepakatan mereka merupakan hujjah.
Dari sinilah kemudian mereka berkata,” Siapa yang tidak mengetahui ikhtilaf ulama maka dia bukan seorang ulama. Barangsiapa tidak mengetahui ikhtilaf para fuqaha maka hidungnya belum mencium bau fiqh”
Penyakit orang-orang “muda” yang baru menapakkkan kakinya beberapa langkah di dunia keislaman adalah mereka yang tidak mengetahui kecuali satu pendapat dan sudut pandang yang mereka dapatkan dari satu syekh (guru). Mereka membatasi diri dalam satu madrasah dan tidak bersedia mendengar pendapat lainnya atau mendiskusikan pendapat-pendapat lain yang berbeda dengannya.
Anehnya, mereka ini melarang taklid, padahal sebenarnya mereka sendiri bertaklid. Mereka menolak mengikuti para imam terdahulu, tetapi mereka bertaklid pada sebagian ulama masa kini.
Mereka bahkan menolak madzhab, padahal mereka sendiri menjadikan pendapatnya sebagai “madzhab kelima” dengan membelanya mati-matian dan menolak setiap orang yang berbeda pendapat dengannya. Mereka menolak ilmu kalam klasik yang mengutamakan perdebatan kalamiah, tetapi sebenarnya mereka sendiri telah membuat “ilmu kalam baru”dengan pembicaraan mereka yang tidak memperhatikan penanaman aqidah di dalam hati, tetapi hanya mementingkan perdebatan di sekitar masalah aqidah.
Sesungguhnya, sikap mereka terhadap kebenaran tak ubahnya seperti sikap orang-orang buta terhadap gajah dalam kisah india yang terkenal. Mereka tidak mengetahui gajah kecuali bagian yang disentuh oleh tangannya.
Seandainya mereka mau memperluas wawasan, niscaya meraka akan mengetahui dan menyadari bahwa persoalan yang dihadapi itu lebih luas dari sekedar satu pendapat dan keanekaragaman pendapat itu dapat ditoleransi. Akan tetapi yang penting adalah bersikap adil, meninggalkan fanatisme, dan mau mendengar orang lain, sekalipun mungkin mereka lebih benar pendapatnya.
Sebagian ikhwah mengatakan,”pendapat yang hanya dikemukakan oleh satu atau dua orang dan bertentangan dengan pendapat jumhur maka wajib ditinggalkan.”
Sebagian lagi mengatakan, “pendapat yang berentangan dengan madzhab yang empat wajib ditolak dan tidak dianggap meskipun telah diterima oleh umat.”
Akan tetapi pendapat ini sebenarnya tidak berdasarkan dalil dari Al-Quran ataupun sunnah sebab ijma yang dikatakan sebagai hujjah adalah kesepakatan semua mujtahid atas suatu hukum syar’i. Tidak seorangpun menerima bahwa ia adalah kesepakatan mayoritas atas jumhur ulama karena masalahnya bukan masalah voting suara.
Memang benar bahwa pendapat jumur itu mempunyai bobot yang membuat kita harus meneliti lebih jauh pendapat yang bertentangan dengannya. Kita tidak keluar dari pendapat jumhur kecuali, karena beberapa alasan yang lebih kuat. Walaupun demikian pendapat jumhur tidaklah ma’shum.
Berapa banyak sahabat yang mempunyai pendapat berbeda dari semua sahabat, tetapi hal itu tidak membahayakannya.
Berapa banyak fuqaha’ tabi’in yang mempunyai pendapat yang berbeda dari fuqaha yang lainnya. Pangkal persoalannya terletak pada hujjah (argumentasi) bukan pada banyak suara.
Berapa banyak di antara imam yang empat yang mempunyai pendapat berbeda dari ketiga imam yang lainnya, tetapi tetap dianut oleh para pengikut madzhabnya, bahkan didukung dan dibenarkan.
Sebagian pendapat ada yang dikatakan sebagai “ganjil” atau “ditinggalkan” atau “lemah”. Penilaian ini tidak boleh diberlakukan secara mutlak sebab berapa banyak pendapat yang telah dinyatakan lemah ternyata menjadi sangat terkenal atau ternyata ada beberapa ulama yang menguatkan dan “menolongnya” pada masa yang lain.
Pendapat-pendapat syaikhul islam ibnu taimiyah misalnya, semasa hidupnya bahkan beberapa abad setelah wafatnya dianggap oleh beberapa ulama sebagai “menabrak” kesepakatan. Baru pada abad kita muncul “tim penyelamat” yang menyelamatkan pendapat-pendapatnya.
Penyakit sebagian kaum “zhahiriah baru” (tekstualis) ialah anggapan bahwa meraka sanggup menghapuskan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah, baik yang far’iyah ataupun ashliyah, caranya yakni dengan menghimpun orang kepada pendapat yang mereka anggap benar dan menolak pendapat yang mereka anggap salah. Akan tetapi mereka lupa bahwa “mengagumi” pendapat sendiri merupakan salah satu penghancur. Cukuplah seseorang dianggap telah berbuat keburukan jika ia melecehkan saudaranya sesama muslim, termasuk diantaranya melecehkan pendapatnya.
Aib kaum zhahariah baru bahwa mereka menganggap adanya hadits nabawi dalam masalah perselisihan telah menhentikan pertentangan, sehingga setiap orang yang tidak sependapat dengannya dianggap menyalahi hadits dan menentang sunnah. Sikap mereka ini benar-benar keliru karena sebab-sebab berikut :

1. Dalam menshahihkan suatu hadits kebanyakan mereka bertaklid kepada sebagian ulama masa lalu dan masa sekarang yang menekuni hadits, padahal belum tentu penilaian mereka tentang suatu hadits itu dapat diterima oleh ulama lain. Perbedaan penilaian dikalangan ulama dan fuqaha sudah sagat lazim sejak dahulu. Ulama yang satu menshahihkan hadits ini yang lain melemahkannya, karena perbedaan persyaratan yang diberlakukan oleh para ulama hadits.

2. Ada ulama yang menguatkan suatu hadits lemah karena banyaknya riwayat lemah lain yang meriwayatkan hal serupa, akan tetapi ada beberapa ulama yang tidak menerima cara ini.

3. mungkin sebagian mereka berhujjah dengan hadits mursal, tetapi sebagian yang lainnya tidak menerimanya sebagi hujjah. Perhatikanlah misalnya hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi wanita. Sebagian ulama telah menshahihkannya karena mengganggap hadits tersebut telah dihapus (mansukh) dan ada yang juga mentakwilnya. sedangkan yang lain melemahkannya.

4. Kalaupun hadits yang mereka jadikan sandaran itu shahih, mungkin ada ulama yang menyanggah dengan menyatakan bahwa hadits tersebut bukan menegaskan syari’at. Tetapi hanya menegaskan masalh keduniaan dan kebiasaan. Seperti hadits tentang membawa tongkat pada waktu khotbah, memakan dengan tangan (tanpa sendok), memakan diatas tanah, atau seperti sabda Nabi SAW “pakailah cilak karena ia akan mempertajam penglihatan dan menumbuhkan rambut”. Jika seseorang muslim tidak mengamalkan hadits ini karena mengikuti nasihat dokter ahli mata misalnya tidak bisa dikatakan bahwa ia menyalahi nash dan menentang sunnah.
Dalam hadits lain disebutkan,”minumlah susu sapi karena susunya merupakan obat, sedangkan dagingnya adalah penyakit”. Akan tetapi setelah diteliti ternyata daging sapi itu tidak membahayakan bahkan lebih besar manfaatnya kepada manusia daripada daging onta atau kambing, karenanya siapa yang memakan daging sapi berdasarkan penelitin tersebut tidak berarti menentang sunnah.

5. kemudian satu hadits menegaskan masalah pensyariatan, tetapi pensyariatan tersebut dari Nabi SAW sebagai imam dan pemimpin bukan sebagai penyampai fatwa dari Allah SWT, sebagaimana kata ibnul Qayyim tentang hadits “ barangsiapa membunuh musuh (dalam perang) maka ia boleh mengambil barang yang melekat di badannya.”

6. Mungkin suatu hadits menegaskan syari’at umum dan abadi, tetapi terjadi perbedaan dan penunjukan hukumnya. Jika ia mengandung suatu perintah atau larangan misalnya, apakah ia perintah wajib atau anjuran ? apakah larangan itu bernilai haram atau makruh dan seterusnya.

Kemungkinan-kemungkinan ini semuanya ada dan terjadi. Kita perhatikan misalnya para sahabat, kendatipun mereka telah mendengarkan perintah Nabi SAW secara langsung diantara mereka masih ada yang meninggalkannya karena mereka memahami bahwa perintah itu bernilai pasti. Jika telah terbukti kepastiannya sebagai perintah wajib dengan lafal atau isyarat lain mereka segera melaksanakannya.
Dalam salah satu perjalanan perang di bulan Ramadhan para sahabat tetap melakukan puasa kemudian Nabi SAW memerintahkan agar mereka berbuka, sebagian mereka berbuka tetapi sebagian yang lain tetap puasa, karena memahami perintah itu sebagai keringanan tidak bernilai kewajiban. Tatkala jarak dengan msuh sudah dekat Nabi SAW bersabda “ kalian segera akan mengahadapi musuh, sedangkan berbuka puasa itu lebih menguatkan kalian, karenannya berbukalah.” Perintah itu sangat tegas dan pasti sekali sehingga merekapun berbuka.
Nabi SAW bersabda,” sesungguhnya orang-orang yahudi dan nasrani tidak mencelup rambut. Karenanya berbedalah dengan mereka dan celuplah rambut” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para sahabat memandang perintah dalam hadits ini hanya sebagai anjuran dan bimbingan, karena itu, sebagian mereka mencelup rambut sebagian lain tidak, sebagian lain mencelup dengan warna hitam sebagian yang lain dengan warna selain hitam.
Karena itu, kita lihat imam ibnu taimiyah misalnya mengartikan hadits “barangsiapa menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudhu” sebagai perintah anjuran bukan wajib.

(Dikutip dari buku fiqh perbedaan pendapat, Dr. Yusuf Qaradhawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar